Entah mengapa, saya tidak pernah bisa bersahabat dengan Bapak.
Selalu
ingat masa kecil, ketika itu semua murid di kelas disuruh membuat puisi tentang
ayah,
lalu saya buat puisi
pertama dalam hidup – Tentang Ayah.
Puisi itu paling besar
nilainya diseluruh kelas 3 SD dan ibu guru menyuruh saya membacakannya di depan
kelas.
Sepulang
sekolah, Bapak sedang asyik baca Koran di ruang tamu,
dengan
tersipu saya memamerkan karya itu,
dibacanya
puisi “Tentang Ayah”,
matanya
nanar dan Bapak lama terdiam,
lalu
berkata, “Buat siapa ini? Siapa ayah?”
Puisi itu seakan kosong,
karena
saya menyebut kata “ayah” disana bukan “bapak” sebagaimana biasanya.
Mungkin
beliau iseng, mungkin pula tersinggung.
Dimulailah
jarak antara anak dan bapak.
Apa
yang dimata saya benar, belum tentu benar versi bapak.
Tapi,
sebagai seorang anak,
saya patut untuk berbakti kepada bapak,
walaupun memang terkadang didikan bapak kita terkadang tidak sesuai
dengan yang saya inginkan.
Semua itu untuk kebaikan kita juga sebagai anaknya.
Seorang bapak, selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya.
Seorang bapak tidak akan pernah berkata tidak jika ia tau itu untuk
kebaikan anaknya.
Seorang bapak bahkan rela berjemur,
bergelut dengan lumpur,
bekerja saat hujan,
bekerja saat orang lain sudah tertidur beristirahat,
untuk kebaikan anaknya.
Saya mulai banyak menulis,
tentang apapun,
tentang keinginan-keinginan masa kecil yang
sulit tercapai,
tentang uang saku yang cukup untuk jajan puas
bila dikumpul tiga hari
tentang ayah yang selalu sibuk kerja,
tentang pembantuku yang sering memukulku dulu,
tapi sampai detik ini Bapak tidak pernah
tahu.
Jangan
sampai tahu.
Saya sangat cinta Bapak makanya saya sering
duduk diam di sebelahnya,
menunggu diajak ngobrol.
Inginnya saya curhat banyak,
tapi belum selesai saya mengutarakan
pendapat,
Bapak selalu menyanggah dengan arogan
mengaitkannya dengan kehidupan pada masanya.
Dan tidak dapat dipungkiri, obrolan diisi
dengan rally-rally panjang perdebatan
dua era yang berbeda.
Saya tetap cinta Bapak,
walau Bapak pernah memangkas habis poni saya agar saya malu
mengikuti rapat Karang Taruna RT, rapat temu ganjen remaja, kata Bapak.
Saya tidak setuju, lalu dimulailah perang mulut, saya
merasa benar, apalagi Bapak.
Setelah menggunting poni, ucapan-ucapan saya membuat bapak
berang hingga main tangan,
Bahu saya dipukul
bapak sampai biru.
Bapak minta maaf,
Bapak bilang,
“Bapak sayang sama Kamu, Bapak gamau salah mengajarkan, Bapak harus
keras karena kamu anak pertama dan satu-satunya perempuan.
Maafin Bapak ya.”
Bagaimana pun juga, sekasar
apapun Bapak kita, jangan pernah memendam dendam. Tiap ayah, papa, papih atau
bapak, punya banyak cara untuk bilang cinta.
Tetap cintai
orangtuamu dan berikan perhatian kecil selagi masih diberi kesempatan untuk
membahagiakan mereka
saya pengen bilang.
saya rindu masa-masa, dimana saya dan bapak berdebat sepanjang malam.
saya rindu masa-masa, dimana saya dan bapak berdebat sepanjang malam.
hanya untuk mempertahankan ego kami masing-masing.
saya rindu akan tatapan marah bapak, disaat saya melakukan sesuatu yang tidak pantas “dimata nya”
saya rindu, semua nya tentang Bapak.
saya rindu akan tatapan marah bapak, disaat saya melakukan sesuatu yang tidak pantas “dimata nya”
saya rindu, semua nya tentang Bapak.
Saya harap, belum telat untuk ngucapin “selamat hari ayah”
SAYA,SAYANG BAPAK!
SAYA,SAYANG BAPAK!
0 Bacotan:
Posting Komentar
hey , no SARA oke :)